SEARCH
Sarapan Nasi Liwet Mbah Dasi
MBAH Dasi tahun depan akan genap berusia 80 tahun. Saat ini ia sudah lebih dari 35 tahun berjualan nasi liwet setiap pagi di emperan sebuah toko di Ngapeman, di Jalan Gajah Mada, Solo, Jawa Tengah. Mari sarapan nasi liwet Mbah Dasi.
Ini ayam kampung. Menawi mboten ayam kampung lengganane sami mlayu.
Sega atau nasi liwet di Kota Solo dulu dijajakan berkeliling kampung oleh ibu-ibu sebagai sarapan pagi. Para penjual kebanyakan berasal dari Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Solo.
Ibu-ibu penjual nasi liwet saat itu menggunakan jarik atau kain dan kebaya. Mereka membawa dagangan dengan cara menggendongnya. Dalam gendongan itu, terdapat panci besar yang dipagari daun pisang mengelilingi panci. Di dalam panci berisi nasi liwet berikut kelengkapannya, yaitu daging ayam dan telur. Penjual nasi liwet juga menenteng panci berisi sambal goreng jipan atau labu siam.
Mbah Dasi yang berasal dari Desa Duwet, Baki, adalah tipikal penjual nasi liwet seperti itu. Dia dulu ider atau berjualan keliling. Namun, sejak tahun 1975, Mbah Dasi mangkal tetap di utara perempatan Ngapeman, Solo. Lokasinya saat ini berada persis di seberang Hotel Novotel dan Hotel Ibis di Jalan Gajah Mada.
Rasa nasi liwet Mbah Dasi masih ”orisinal” dan otentik khas sega liwet (m)Baki yang gurih. Penyajiannya pun masih menggunakan pincuk, tempat makan dari daun pisang. Pembeli bisa makan dengan sendok, tapi bisa menggunakan suru, alat menyuap nasi dari daun pisang. Sambil duduk bersila di tikar, atau dengan dingklik plastik kita bisa sarapan nasi liwet sambil mengobrol dengan Mbah Dasi yang ramah.
”Ini ayam kampung. Menawi mboten ayam kampung lengganane sami mlayu—kalau bukan ayam kampung, pelanggan pada lari,” kata Mbah Dasi dengan bahasa Jawa halus sambil menyuwir-nyuwir daging ayam yang dimasak dengan bumbu opor sehingga terasa gurih.
”Pakai telur satu atau separuh,” tanyanya sopan kepada pembeli—dalam bahasa Jawa halus pula.
Pembeli itu minta telur separuh. Mbah Dasi lalu membelah telur pindang menggunakan sehelai serat benang yang diikatkan pada pegangan panci blirik berwarna abu-abu. Ia tidak menggunakan pisau untuk memotong telur.
Gurih plus gurih
Sarapan nasi liwet adalah menikmati sensasi rasa serba gurih dengan gradasi kegurihan yang berbeda dari setiap unsurnya. Unsur utamanya adalah gurihnya nasi liwet yang dimasak dengan santan kelapa. Untuk 5 kilogram beras, Mbah Dasi memerlukan 4 butir kelapa. Air parutan kelapa itu diperas ditambah air hingga lima rengkot atau rantang (1 rengkot setara dengan 1 liter). Air perasan kelapa itu digunakan untuk ngaru atau memasak nasi. Beras yang sudah lunak kemudian ditanak.
Kegurihan lain datang dari sambal goreng jipan atau labu siam encer yang dimasak menggunakan kaldu ayam kampung sehingga terasa gurih segar. Sambal goreng jipan Mbah Dasi bisa dikatakan tidak pedas meski di dalamnya disertakan cabai merah utuh. Namun, Mbah Dasi menyertakan dua cabai merah bagi penyuka rasa pedas.
Pelengkap makan lain adalah endok kukus atau sepotong telur yang dibuat dari adonan telur yang dikukus dalam daun pisang. Telur kukus itu disajikan hanya seukuran separuh ujung jari.
Yang paling khas, dan paling gurih, dari nasi liwet adalah kumut atau semacam kepala santan. Kumut dibuat dari santan kental yang direbus tanpa diaduk. Pada tingkat suhu tertentu, kepala santan akan naik ke atas dan jadilah kumut nikmat saat terkecap lidah itu.
Sepincuk nasi dengan ayam separuh dan suwiran ayam itu berharga Rp 6.000. Seperti kebanyakan penjual nasi liwet, Mbah Dasi juga menjual ketan yang dibubuhi bubuk kedelai. Kita boleh memilih ketan dengan juruh atau cairan manis yang terbuat dari gula jawa, atau dengan parutan kepala.
Mbah Dasi mulai berjualan sejak pukul 06.00. Biasanya dagangan akan habis sampai pukul 10.00. Ia mulai menyiapkan masakan sejak pukul 01.00 dini hari dan selesai memasak pada pukul 04.00. Kapan tidurnya, Mbah? ”Wah, nggih sak kobere—ya sesempatnya,” katanya.
Pukul 04.15 ia berangkat naik becak langganannya bernama Pardi. Untuk biaya becak pulang-pergi dari Baki ke tempat mangkal di Ngapeman sejauh sekitar 10 kilometer itu, ia membayar Rp 25.000. Begitulah selama lebih dari tiga dekade, Mbah Dasi berjualan nasi liwet melayani orang sarapan pagi dari generasi ke generasi. Kisah ”balada” Mbah Dasi menjadi bumbu tersendiri yang menjadikan nasi liwetnya bertambah gurih.
Kompas.com